La'o Hamutuk

Bulletin   |   Surat Popular   |   Topic index   |   Reports & Announcements
Mission Statement   |   How to Join the LH Listserv   |   Home

 

La'o Hamutuk Press Statement about

the Treaty between Australia and Timor-Leste on
Certain Maritime Arrangements in the Timor Sea (CMATS)

 

23 January 2006

 

Bahasa Indonesia follows below

Australia and Timor-Leste have been negotiating over disputed areas in the Timor Sea for more than five years. The unbalanced negotiations have produced in an unjust deal over exploration for oil and gas in one disputed area, Greater Sunrise. Thanks to pressure from Timor-Leste’s government and Timorese and Australian civil society on the Australian government, the negotiations have produced a better result than Australia’s earlier offer, with improvements such as increasing Timor-Leste’s share of Sunrise upstream revenue from 18% to 50%. The Governments of both countries celebrate this agreement as a fair deal, and Australian Foreign Minister Alexander Downer claims that it shows Australia’s generosity to Timor-Leste’s people.

However, this agreement contains an essential flaw: it does not satisfy Timor-Leste’s claim for sovereignty or our people’s right to all the resources in our half of the Timor Sea. Greater Sunrise is twice as close to Timor-Leste as it is to Australia. And based on current international legal principles, Timor-Leste the right to all or nearly all Sunrise revenues. The Agreement also exemplifies the Australian Government’s continuing disrespect for the rights of Timor-Leste’s people.

Australia showed that disrespect by supporting the Indonesian military regime’s illegal occupation of Timor-Leste for 23 years. Since 1999, Australia has continued as an occupier for Timor-Leste territory, acting on control over the Timor Sea that it obtained through a deal with the illegal Indonesian occupier. Australia recognizes that its legal position is weak; that’s why it withdrew from maritime boundary procedures of the International Court of Justice and the International Tribunal for the Law of the Sea two months before Timor-Leste restored its independence in 2002.

This withdrawal removed the foundation of a fair negotiation process -- the opportunity for Timor-Leste to take Australia to court if negotiations fail. The position of Timor-Leste at the negotiating table is weaker than Australia’s, because Australia is a long-developed, rich country, preferred by Australian and western oil companies. Timor-Leste is the world’s newest country, the poorest country in the region. East Timor's power comes from legal principles -- which Australia refuses to recognize -- and is supported by civil society in Timor-Leste, Australia, USA, and other countries.

An unbalanced negotiation resulted in an unjust agreement for Timor-Leste. Timor-Leste has to wait for maritime boundaries for 50 years or more, which means that Timor-Leste has not yet achieved its sovereignty. The agreement requires Timor-Leste to remain silent, not to claim its maritime boundary or other Timor Sea rights for half a century, when this generation has finished and the oil and gas reserves in the Timor Sea will be all used up.

The Australian Government’s position on the Timor Sea does not represent its own people’s views, raising questions about Australia’s democracy. Their government has betrayed the voice of Australian people who have shown their solidarity and generosity during Timor-Leste’s struggle for Independence and are assisting Timor-Leste’s development process. Since before 2002, Timor-Leste Government, together with civil society in several countries, including Australia, have demanded that the Howard regime respect Timor-Leste’s rights and sovereignty. But Mr. John Howard and Mr. Alexander Downer closed their ears to the voices of the Australian people. The Australian government responds to oil companies and commercial interests, and not to the Australian people’s voices.

Australia claims that it has been generous to Timor's people since 1999. Australia led InterFET and provided assistance to Timor-Leste. But what the Australian government has given is less than half as much money as Australia has taken from the Timor Sea, which is more than US $1.2 billion). Australia also seems to think that illegal occupation is a good way for neighbors to build a close relationship.

La’o Hamutuk’s observations on this agreement are as follows:

First, The Agreement continues Australia’s violation for the economic and political rights of Timor-Leste’s people over the Timor Sea. Under international principles, not only oil and gas, but also other resources, belong to Timor-Leste.

Second, The deal doesn’t respond to the essential problem, establishing a maritime boundary. This agreement primarily serves Australian Government and Oil company interests. The deal extends and legitimizes Australian occupation over the Timor Sea and allows Australia to explore other known and potential oil fields outside the JPDA. Our country will lose even more if Sunrise gas is piped to an LNG plant in Darwin.

Third, The deal does not properly resolve the problems, but extends them. Our view that, in the future, the problems such as misunderstanding or misinterpretation about this Agreement will arise, and new negotiations will be needed. This agreement doesn’t reference any international legal institutions; such as ICJ. If the problems or misunderstandings arise between both parties in the future, they will be dealt with in an unbalanced political process, not through international legal principles.

In conclusion, we believe that; being a good neighbor does not mean supporting and benefiting from an illegal occupation, but respecting the rights of each other, and respecting international legal principles. We hope that future relations between Timor-Leste and Australia will be more equal and mutually respectful, as is desired by the citizens of both nations and is necessary for our long-term, peaceful proximity.

-- Guteriano Nicolau and Santina Soares

Link to index of articles on this website about oil and natural gas   Link to articles and updates on CMATS and Maritime Boundaries


Pernyataan Pers Terhadap Perjanjian Eksplorasi
Greater Sunrise Antara Timor-Leste dan Australia

Tanggal 23 Januari 2006.

Negosiasi antara Timor-Leste dan Australia terhadap area yang disengketarakan di laut Timor telah berlangsung lebih dari lima tahun. Negosiasi yang yang tidak seimbang ini menghasilkan sebuah perjanjian yang tidak adil terhadap explorasi Minyak dan gas di area sengketa, Greater Sunrise. Tekanan yang diberikan oleh Pemerintah Timor-Leste dan Masyarakat Sipil dari Timor-Leste dan Australia terhadap Pemerintah Australia menghasilkan sebuah perjanjian yang lebih baik dari sebelumnya, dan meningkatkan prosentase pembagian pendapatan dari Sunrise dari 18% menjadi 50%. Pemerintah dari kedua negara merayakan perjanjian ini sebagai sebuah perjanjian yang adil, dan Menteri Luar Negeri Australi, Mr. Alexander Downer mengklaim bahwa ini adalah suatu wujud dari kebaikan hati dari Pemerintahnya terhadap Rakyat Timor-Leste.

Meskipun demikian, perjanjiain ini berisikan sebuah kecacatan essential. Perjanian ini tidak menjawab klaim dari Timor-Leste terhadap kedaulatannya atau Hak rakyat Timor-Leste untuk semua kekayaan yang terdapat di tengah laut Timor. Greater Sunrise dua kali lebih dekat dengan Timor-Leste dibandingkan dengan Australia. Dan berdasarkakn prinsip hukum internasional yang berlaku sekarang, Timor-Leste memiliki hak untuk hampir semua pendapatan dari Greater Sunrise. Perjanjian ini juga memberikan suatu contoh terhadap ketidakhormatan dari Pemerintah Australia terhadap hak rakyat Timor-Leste yang terus berlangsung.

Australia telah menunjukkan ketidakhormatannya dengan mendukung pendudukan illegal yang dilakukan oleh regime militer Indonesia selama 23 tahun. Sejak tahun 1999, Australia telah melanjutkan okupasi terhadap teritori Timor Leste, mengontrol semua laut Timor yang diperoleh melalui sebuah perjanjian dengan rezim illegal, Indonesia. Australia menyadari posisi legalnya yang lemah, maka mengundurkan diri dari prosedur perbatasan laut; yaitu International Court of Justice (ICJ) dan International Tribunal for the Law of the Sea dua bulan sebelum Timor-Leste memperoleh kemerdekaannya pada tahun 2002.

Pengunduran diri ini menghilangkan proses negosiasi yang adil-kesempatan bagi Timor-Leste untuk membawa Australia kepada Pengadilan jika Negosiasi gagal/tidak tercapai. Posisi Timor-Leste dalam meja negosiasi lebih lemah dibandingkan dengan Australia yang merupakan negara maju, kaya dan didukung oleh perusahaan minyak Australia dan barat. Sementara Timor Leste adalah negara terbaru di dunia, negara termiskin di kawasan ini. Kekuatan Timor Leste datang dari prinsip hukum -dimana Australia tidak mengakuinya – dan mendapat dukungan dari Masyarakat Sipil dari Timor-Leste, Australia, Amerika Serikat dan negara lainnya.

Negosiasi yang tidak seimbang ini menghasilkan sebuah perjanjian yang tidak adil bagi Timor-Leste. Timor-Leste harus menantikan batas lautnya selama lebih dari 50 tahun, yang artinya Timor-Leste belum mencapai kedaulatannya. Perjanjian ini mengharuskan Timor-Leste untuk tidak berbicara dan menuntut batas lautnya atau hak lain di laut Timor selama setengah abad, ketika generasi ini sudah habis dan cadangan minyak di laut Timor habis terpakai.

Posisi Pemerintah Australia dalam kasus Laut Timor tidak mewakili posisi masyarakatnya sendiri, dan ini memunculkan pertanyaan tentang democracy di Australia. Pemerintah Australia telah mengkhianati suara rakyat Australia yang telah menunjukkan solidaritas dan kemurahan hati selama perjuangan rakyat Timor-Leste untuk kemerdekaan dan sedang membantu proses pembangunan di Timor-Leste. Sebelum tahun 2002, Pemerintah Timor-Leste bersama dengan Masyarakat Sipil dari beberapa negara, termasuk Australia sudah menuntut kepada Regime Howard untuk menghormati hak dan kedaulatan Timor-Leste. Tetapi Mr. John Howard dan Mr. Alexander Downer menutup telinga mereka terhadap suara dari rakyat Australia. Pemerintah Australia lebih mempedulikan kepentingan perusahaan minyak dan komersial daripada suara rakyat Australia dan Timor-Leste.

Australia mengkalim bahwa Ia sudah berbaik hati kepada rakyat Timor-Leste sejak tahun 1999. Australia memimpin InterFET (Pasukan Multinasional PBB) dan memberikakn bantuan kepada Timor-Leste. Tetapi apa yang telah diberikan oleh Australia kurang dari setengah dibandingkan dengan uang yang diambil oleh Australia di laut Timor, diimana melebihi 1.2 milliar dollar AMerika. Australia juga kelihatannya berpikir bahwa pendudukan illegal adalah sebuah jalan yang baik bagi sebuah tetangga untuk membangun relasi yang baik.

Observasi La’o Hamutuk Terhadap Perjanjian ini sebagai Berikut:

Pertama; Perjanjian ini melanjutkan pelanggaran yang dilakukan oleh Australia terhadap hak ekonomi, dan politik rakyat Timor Leste di Laut Timor. Berdasarkan prinsip internasional, bukan hanya minyak dan gas, tetapi kekayaan lain juga milik Timor-Leste.

Kedua; Perjanjian tidak menjawab persoalan esensial, menentukan batas laut. Perjanjian ini lebih menjawab kepentingan Pemerintah Australia dan Perusahaan minyak. Dengan perjanjian tersebut memperpanjang dan melegitimasi pendudukan australia terhadap laut Timor dan merestui Australia untuk melakukan eksplorasi terhadap lahan potensial lain di JPDA. Timor-Leste akan bertambah rugi, jika pipa dari Greater Sunrise ditarik ke Darwin.

Ketiga; Perjanjian ini tidak menyelesaikan masalah esensial tetapi memperpanjangnya. Pandangan kami bahwa di masa depan, akan muncul berbagai masalah seperti salah pengertian atau salah interpretasi terhadap masalah ini; dan negosiasi baru akan dibutuhkan lagi. PErjanjian ini tidak memberikan referensi/konsiderasi terhadap institusi hukum internasional seperti ICJ. Jika masalah seperti salah pengertiain muncul antara kedua pihak di masa depan, mereka harus melalui lagi sebuauh proses politik yang tidak seimbang dan tidak diselesaikan melalui prinsip hukum internasional.

Sebagai kesimpulan, kami percaya bahwa menjadi sebuah tetangga yang baik, tidak berarti bahwa mendukung dan mengambil manfaat dari sebuah pendudukan illegal, tetapi saling menghormati hak setiap negara, dan menghormati prinsip hukum internasional. Kami berharap bahwa di masa depan, hubungan antara Timor-Leste dan Australia akan menjadi hubungan yang setara dan saling menghormati antara satu sama yang lain, seperti yang didambakan oleh warga negara dari kedua negara. Dan ini sangat dibutuhkan untuk prospek perdamaian jangka panjang.

-- Guteriano Nicolau dan Santina Soares

Link to index of articles on this website about oil and natural gas   Liga ba informasaun atual kona-ba fronteira maritima no Tratadu CMATS